|
Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur
perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki
aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh,
pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya
raja-raja di India.[13] Kekayaan yang melimpah ini
telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya
di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara,
dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk
dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring
perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi
perdagangannya dengan selalu mengawasi
dan jika perlu memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan
untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar
ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan
sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di
Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa
Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung
Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam
lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya
serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa
pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan
laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa
Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya
Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan
menggempur bandar pelabuhan pesaingnya.
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang
melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah
untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda
adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah
yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur
mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam
pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun
abad ke-7 hingga ke-13 masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin
perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat
kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke
Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan
kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724
mengirimkan hadiah buat kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalambahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti
Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan
negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi
Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
|
|||
Tidak
terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa
lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang
Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika
sarjana PerancisGeorge Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam
surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès
menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i",
sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Selain
berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan
ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir,
Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu kuno itu
sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang
terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan
bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu
dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan
sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga
sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti
tembikar, keramik, dan alat kayu.
Sriwijaya
menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua
kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan
bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara
sebelelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya
disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan
bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3
pulauSabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan
Sriwijaya.
Sekitar
tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat
bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang danSabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs
Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Pendapat
ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs
Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam
serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan
manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur
sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal
meliputi 20 hektar. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang
menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat
aktifitas manusia. Namun
sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya
terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara
Tembesi (di provinsiJambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika
Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat
bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk
arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta
hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan
oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu
ni fu ma tian hwa atau Sri
Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng
tien wan shou(Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak
di Muara Takus). Namun yang pasti
pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkanprasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
Tidak
terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa
lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang
Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika
sarjana PerancisGeorge Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi
Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca
"Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh
Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal
atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang, kepala
perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru
buat jembatan. Tercatat ada 17
keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat dengan teknik pasak
kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk.
Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia
Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain
yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat
kayu.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan
kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut
menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa
menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan
bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan
tentang adanya 3 pulauSabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan
Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat
Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang danSabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang
kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didasarkan dari foto
udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk
bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang
disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini
terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi
panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektar. Di kawasan
ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini
pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia. Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan
sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak
sampai ke Muara Tembesi (di provinsiJambi sekarang), dengan
catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan
tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang
sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya
berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam
catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan
dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya
(Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003
kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou(Candi Bungsu,
salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan
oleh Rajendra Chola I, berdasarkanprasasti Tanjore, Sriwijaya telah
beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar